TEMPO.CO, Jakarta - TERIAKAN, tangisan, dan lafal istighfar bersahut-sahutan di lantai 6 Hotel Santika, Kota Palu, Jumat, 28 September 2018. Dusep, Staf Deputi Pemasaran II Regional 3 Kementerian Pariwisata, yang sudah keluar dari kamarnya semakin ketakutan mendengar suara-suara panik ini. Suasana mencekam. Lampu hotel mati. Bangunan bergetar hebat. Sore itu, menjadi hari yang mungkin tak akan pernah bisa dilupakan Dusep. Ia menjadi salah satu saksi gempa dan tsunami palu.
Baca: Cerita Petobo, Kampung yang Hilang Ditelan Lumpur Saat Gempa Palu
Sore itu, sekitar pukul 18.00, Dusep bersama rombongan Kementerian Pariwisata baru saja masuk ke dalam Hotel Santika yang berada sekitar dua kilometer dari pantai Talise. Ceritanya, Kementerian Pariwisata akan menggelar acara Palu Namoni—agenda wisata besar untuk menyambut HUT Palu. "Malam itu seharusnya ada jamuan makan," kata Dusep menceritakan ulang peristiwa itu, Ahad, 30 September 2018.
Begitu masuk ke dalam kamarnya, Dusep melemparkan diri ke kasur. Sembari melemaskan otot-otot badannya, Dusep membaca susunan acara kegiatan selama di Palu. Tiba-tiba tembok kamar Dusep bergetar. Mulanya, pelan. Namun lama kelamaan guncangan semakin hebat. Dusep yang berdiri karena hendak menyelamatkan diri sampai terpelanting menghantam tembok. Kaca di kamarnya pecah.
“Saya melihat tembok-tembok mulai retak. Saya kemudian merangkak menuju tangga darurat,” kata Dusep sambil terbata-bata menceritakan peristiwa kala itu. Ia berjalan menuju tangga darurat. Kepanikan sudah menguasai hotel. Lampu mati, hotel tiba-tiba gelap. Dalam kondisi itu, terdengar teriakan orang-orang memekikkan telinga. Ada yang menangis, ada yang istighfar. Ada pula yang bingung mencari keluarganya.
Dusep tiba di lobi hotel setelah turun lewat tangga darurat. Rupanya, kondisi lobi sudah berantakan. Tempatnya berdiri penuh dengan tembok runtuh. Plafon hotel jebol, tak lagi terlihat mewah seperti saat dia masuk. Menurut dia, malah mirip gedung yang rusak akibat perang.
Dia melihat ke parkiran, mobil-mobil basah. Belakangan ia baru tahu kolam renang di lantai 3 hotel itu jebol. Airnya tumplek. Suasana kacau. Debu menggumpal. Langit gelap. Teriakan orang makin kencang.
Belum juga tenang, isu tsunami mencuat. Sebagian orang yang dia temui mengaku mencium bau air laut. Bersama para korban bencana lainnya, yang tercampur antara masyarakat dan wisatawan, Dusep berlari sejauh 3 kilometer menjauhi pantai. Ketika itu, dia tidak tahu nasib anggota rombongan dari Jakarta yang lain.
Simak juga: 18 Negara Bantu Korban Gempa Donggala dan Tsunami Palu
Di badan jalanan itu, kata Dusep, lalu-lintas macet total. Semua kendaraan beserta pengemudinya melaju ke arah yang sama. Orang-orang juga berlarian sambil berteriak, memenuhi jalanan. Bangunan-bangunan runtuh tak tentu.